Tidaklah
salah jika tumpek krulut diartikan sebagai hari kasih sayang bagi masyarakat hindu
Bali. Krulut secara etimologis kata berasal dari kata lulut (jawa kuna) memiliki
arti kasih, sayang, cinta, asmara, rindu, hasrat cinta kasih, rasa cinta. Tumpek
itu sendiri (jawa kuna) memiliki arti terbalik.
Maksud terbalik disini, tumpek yang jatuhnya hari sabtu /saniscara adalah sebagai akhir dari
siklus hari dalam perhitungan hari di Bali. Berkaitan dengan makna hari raya tumpek
landep, ada kutipan dalam lontar sundarigama sebagai berikut :
Saniscara kliwon ngaraning tumpek,
ye wekasing tuduh, ikang sarwa janma, aywa lali sira ngastiti Sang Hyang Parama
Wisesa, apan sira tan hana doh tan hana parek lawan sire, tan parok tan pasah,
apan sira amet panet, kala sane katemurun kerte nugraha, nira Sang Hyang ring madiapadaloka,
pangacinia kayeng prelagi, risedenging ratri tan wenang anambut gawe, balik
menapuhe sira acita nirmala, umengete ring sesanan nira Sang Hyang Darma, muang
kawiadnyana sastra kabeh, telas samangkana, aywa sira tan mangguhaken rahayu,
saparaning lakunte, apa nian mangkana wang tan pakerti tan payase, tan pakrama
ngarania, sama lawan sato, binania amangan sege, yan sang wiku tan manut dudu
sire wiku, ranakira Sang Hyang Darma.
Terjemahan bebasnya, Saniscara
Kliwon namanya sebagai puncak rahmat yang diberikan kepada manusia, karenanya
janganlah lupa memuja Sang Hyang Parama Wisesa, janganlah menjauhkan diri sebab
sebagai hari turunnya kemakmuran. Pada saat malam tidak diperkenankan mengambil
pekerjaan, namun diamlah dengan hening
sesuci-sucinya dan memusatkan perhatian kepada Sang Hyang Dharma, serta
kesadaran jiwa menyeluruh. Yakini dan jangan menentang akan kebenaran ini
karena dapat memberikan keselamatan. Orang yang demikian, tidak melakukan
kebenaran, tak ubahnya binatang, jikalau orang-orang suci tidak menuruti keyakinan
itu, maka bukanlah wiku sebagai titisan Sang Hyang Dharma.
Dalam kutipan tersebut, sangat jelas
kita diajarkan agar selalu eling, sesibuk-sibuknya
dalam berswadharma harus ingat akan kewajiban memuja penguasa dunia Sang Hyang
Parama Wisesa. Adalah lewat jalan Dharma tiada lain sarananya. Sebagai siklus
waktu akhir, tumpek merupakan hari baik sebagai hari turunnya keberkahan. Pada
saat tersebut hendaknya memusatkan pikiran.
Tumpek krulut oleh masyarakat Bali
lebih dikenal sebagai upacara untuk gamelan atau otonan gong, pemujaan kepada
Hyang Iswara. Hal ini yang kemudian dikaitkan dengan bagaimana membangun cinta
kasih lewat lantunan nada. Suara gamelan yang indah muncul dari kolaborasi
indah dari beragam instrumen. Kolaborasi indah dari semua instrumen gong,
mengajarkan kepada kita agar saling
mendukung, saling mengasihi saling memberi satu sama lain sehingga menghasilkan
sesuatu yang indah. Jika dikaitkan dengan lontar aji gurnita, setiap nada tetabuhan
memiliki dewa tersendiri yang disthanakan seperti dalam penggalan baris lontar aji
gurnita berikut :
Pelok
panca swara, Dang, A, Iswara, Deng , E, Brahma, Dong, O, Mahadewa, Dung, U,
wisnu, Ding, I, Siwa.
Nada Pelog lima suaranya, Dang aksaranya A dengan dewanya Iswara, Deng
aksaranya E dewanya Brahma, Dong aksaranya O dewanya Mahadewa, Dung aksaranya
U, dewanya Wisnu, Ding aksaranya I dewanya Siwa.
Pada hakekatnya,
pada tumpek krulut kita diingatkan untuk saling peduli satu sama lain, diawali
dari yang terdekat sehingga memunculkan keharmonisan dan ketentraman hidup
layaknya suara indah yang dihasilkan oleh tetabuhan gong. Jikapun dalam
kehidupan ada ketidakcocokan dengan orang terdekat, seperti sesenggakan Bali
mengatakan “ tan bika sekadi melayangane,
nyen keajak makorod, sinah ane paek, ie ane ker sai tepuk, tusing anak ane joh
kar ajak makorod.
0 komentar:
Post a Comment