Tuhan dalam wujudnya yang
transenden, agama Hindu meyakini bahwa Tuhan itu tunggal adanya. Dalam aksara modre, penyebutan Tuhan
yang tunggal terlihat pada aksara suci Ong.
Nala
(2006) menyatakan ada beberapa jenis Ongkara yang dikenal di Bali,
antara lain :
Ongkara Gni, Ongkara Sabdha, Ongkara Mrta, Ongkara Ngadeg, Ongkara Sumungsang, Ongkara Adu Muka dan Ongkara Pasah.
Alih aksara lontar tutur aji
saraswati menyebukan tentang letaknya Ongkara Ngadeg dan Ongkara
Sumungsang sebagai berikut.
Ung dadi ah mawak mreta, Ang dadi ongkara ngadeg mawak api, Mang mulih
ring sunia mandadi windu. Ah mawak Ongkara Sumungsang magenah ring gidat, ardha
candra ring alis windunia ring slaning. Nadanya ring tungtunging grana. Ongkara
ngaded ne ring dada ardhacandrania ring gulu, windunia ring cedokaning gulu,
nadania ring jiwa.
Terjemahan.
Adapun
Ung menjadi Ah perwujudan amerta. Ang menjadi Ongkara Ngadeg perwujudan
api. Mang masuk ke sunia menjadi windu. Ah perwujudan Ongkara Sumungsang
terletak pada dahi, ardhacandranya pada alis, windunya pada
sela-sela alis, nadanya pada ujung hidung. Ongkara ngadeg ada
pada dada, ardhacandranya pada tulang belikat, windunya pada
cekung pangkal leher, nadanya pada lidah.
Di dalam
alih aksara dan alih bahasa Bhuwana kosa, disebutkan sebagai berikut :
Tri widham dewi,
hreswa dirggha tatha. Ika tang pranawa bhatari, telu lwirnya, hreswa, dirggha,
pluta nahan awaknya, bhur bhuwah swar itikyatah, ya sinangguh tri bhuana, nga,
pranawa tri widham smretam ika tawak ikang pranawa telu, ya ta katuturana sang
sadhaka (Bhuwana Kosa, IX.21)
Terjemahan
Pranawa itu, bhatari
dapat dibedakan tiga beda wujud, yang masing-masing disebut, hreswa, dirgha,
pluta. Ini pula yang disebut tiga dunia yang patut selalu diingat oleh para
pendeta (Sura, 1994:113).
Eka windumahadewi,
pranawam hreswam ewaca, ikang pranawa hreswa, yeka tunggal windunya, dwi winduh
pranawam dirggham, ikang pranawa rwa windunya, yeka dirggha, nga, tri winduh
pranawam plutam, ikang pranawa telu windunya, yeka pluta, nga (Bhuwana Kosa
IX.22)
Terjemahan
Yang disebut pranawa
hreswa, satu windunya, yang disebut dirgha, dua windunya yang
disebut pranawa pluta, tiga windunya (Sura,1994: 114)
Sad winduh
niskalam widhi, mangkana kitanaku sang kumara, an kawruhana ikang pranawa nem
windunya, apan ya ikawaku niskala. Ekam brahmatu sanmukam, kunang ikang pranawa
tunggal windunya, brahmawaknya, wisnuh dwih tri maheswara, ikang rwa windunya,
wisnwawaknya, ikang pranawa telu windunya. Maheswarawaknya. Sad winduh niskalam
jnye am, ya ta matangyan ikang pranawa nem windunya, ya ta kawruhanantanaku
sang kumara, ya ta sinanggah niskalan yawak bhatara parama siwa iki (Bhuwana Kosa,
IX.33).
Terjemahan
Demikianlah
anakku Sang Kumara, hendaknya engkau ketahui pranawa yang berwindu enam
adalah wujudku yang niskala. Pranawa yang berwujud satu adalah
perwujudan Brahma. Yang berwindu dua adalah perwujudan Wisnu.
Yang berwindu tiga adalah perwujudan Maheswara. Itulah sebabnya pranawa
yang berwindu enam patut engkau ketahui anakku Sang Kumara. Itu adalah
wujud dari Sang Hyang Parama Siwa yang niskala (Sura, 1994: 117).
Dari
kutipan alih aksara dan alih bahasa Bhuwana Kosa di atas, ada empat
wujud Ongkara Pranawa yaitu :
- Ongkara Pranawa Hreswa dengan sebuah windu, simbol Sang Hyang Brahma, sebagai Pradana.
- Ongkara Pranawa Dirgha dengan dua buah windu, simbol Sang Hyang Wisnu, sebagai Purusa.
- Ongkara Pranawa Pluta dengan tiga buah windu, simbol Sang Hyang Iswara, sebagai putera.
- Ongkara Pranawa Nem dengan enam buah windu, simbol Sang Hyang Paramasiwa.
Selain itu ada pula
Ongkara yang terdapat di mata, yakni.
- Ongkara Sari di hitam bola mata.
- Ongkara Aksara di putih bola mata.
- Ongkara Modre di selaning mata.
- Ongkara Sumungsang di merah bola mata (Ra, 2008 : 115).
Sayang (2009) menyatakan walaupun bentuk dari aksara Ongkara
beragam, keesaan dari Ida Sang Hyang Widhi dilambangkan dengan aksara Ongkara.
Bentuk lain dari Ongkara adalah
sebagai perwujudan Tuhan yang Tunggal disesuaikan dengan kedudukannya. Omkara atau pranawa adalah simbol universal
diyakini oleh umat Hindu. Sri krsna menyatakan dengan tegas di dalam beberapa sloka
bhagawadgita.
Rosa ‘ham apsu
kaunteya
Prabhā ‘ śmi
śasisūryayoh
Pranawah
sarwawedesu
Sadah khe
paurusam nrisu
(Bhagawad
Gita.VII. 8)
Terjemahan
Aku adalah rasa
dalam air, o Arjuna
Aku adalah
cahaya pada bulan dan matahari
Aku adalah pranawa
dalam semua weda
Aku adalah suara
di ether dan kemanusiaan pada manusia
(Maswinara, 1997: 267)
Om ity
ekaksarambrahma
wyharan mām
anusmaran
yah prayāti
tyajam deham
sa yāti paramām
gatim
(Bhagawad
Gita VIII. 13)
Terjemahan
Ia yang
mengucapkan Om, aksara tunggal yaitu Brahman, dan mengingatkan Aku
sewaktu ajal akan meninggalkan badan jasmani, ia akan pergi menuju tempat yang
tertinggi ( Maswinara, 1997: 290).
Tentang
kebesaran dan keagungan Aum di antara ucapan suci dinyatakan sebagai
berikut.
Mahaŗsīnām
bhrigur aham
Girām asmy ekam
akşara,
Yajnanam
japayajno ‘smi
Sthawaranam
himalayah
(Bhagawad
gita X.25).
Terjemahan.
Diantara Rsi agung
aku adalah Bhrgu, diantara ucapan suci aku adalah aksara tunggal Aum,
diantara persembahan aku adalah persembahan meditasi hening dan diantara
benda-benda tidak bergerak aku adalah gunung Himalaya (Maswinara, 1997 : 338 )
Di
dalam Manavadharmaśāstra menyatakan pentingnya pengucapan dan keutamaan Omkara
antara lain sebagai berikut.
Brahmanah
pranawa kurya dadawante sa carwada,
Srawatyani
krtam purwan pura stacca wiciryati
Terjemahan
Hendaknya mengucapkan pranawa (aksara suci Om) pada awal dan penutup pelajaran Veda karena bila tidak
didahului dengan Om, pelajaran akan tergelincir menyasar dan kalau tidak
diikuti pada penutup, maka pelajaran itu akan menghilang (Pudja, 2003: 82 ).
Benih
aksara ini menjadi saripati Brahman dan yang akan datang dan juga yang
mutlak yang tiada berwujud. Om yang
terdiri dari tiga unsur A, U, M, berhubungan dengan tiga keadaan yaitu waktu
terjaga, mimpi dan tidur tanpa mimpi. Atma
yang maha tinggi terwujud dalam alam ini pada bentuk kasar, yang halus dan
yang mempunyai segi sebab musababnya. Suku
kata ini sesungguhnya mempunyai semangat yang tiada habisnya dan suku kata ini
adalah tujuan yang maha tinggi, dengan mengerti suku kata ini, apapun yang
diinginkan seseorang akan terwujud (Wirasuyasa, 2009: 85).
Pada
waktu mengucapkan mantra-mantra agar selalu memulai dengan mengucapkan pranawa
OM. Hal ini perlu untuk
mengendalikan agar mantra-mantra yang diucapkan itu benar-benar terarah dengan
semestinya, dan kemudian diakhiri pula dengan mengucapkan pranawa OM, agar
apa yang telah diucapkan itu tidak mudah hilang dari ingatan. Dengan mengucapkan pranawa Om berarti
memuliakan nama Sang Hyang Widhi agar memperoleh wara nugraha-Nya. Demikian pula waktu menuliskan
mantra-mantra, agar selalu dimulai dengan menuliskan kalimat “Om
awighnamastu” dan diakhiri dengan menulis kalimat “Om Sidhirastu Tat
Astu Om” (Suparta, 2009: 18-19).
Ongkara ini menurut penghargaannya
menempati penghargaan tertinggi dari urutan dari rendah ke yang tertinggi : arcana, mudra, mantra, kuta mantra, pranawa.
Yaitu : upacara agama, sikap-sikap tangan,
mantra-mantra, mantra utama, dan suku kata suci. Suku
kata suci OM juga disebut Ongkara, sebagai lebih tinggi dari mantra
tertinggi dari upacara (Agastia, 2005 : 239). Ongkara adalah wujud dari seluruhnya. Akhirnya
Ongkara itu lenyap di dalam Ardhacandra. Ardhacandra lenyap di dalam windu. Windu lenyap di dalam Nada. Nada lenyap di dalam Niskala, demikianlah pranawa (Bijaksara
Ongkara). Uraian panjang tentang Pranawa
Mantra di dalam Bhuana Kosa juga menjadi landasan Siwa Tattwa,
ajaran filsafat Siwa, menyangkut ajaran tentang penciptaan jagat raya
sampai pada ajaran tentang peleburannya (kelepasan). Ongkara
juga merupakan Ibu, karena ia yang melahirkan segala yang ada. Oleh
karena itu Ongkara juga dikaitkan dengan Sakti, sebagai kekuatan
penciptaan (Agastia, 2005 : 239-240).
Pemahaman Ongkara maupun aksara yang lain termasuk rajah kajang
yang ada dalam berbagai lontar seharusnya difahami dengan pengetahuan dasar
tentang filsafat bumi sebagaimana tertuang di dalam ajaran Tantra (Siwa-Buddha-Tantra)
(Agastia, 2005: 243).
Menurut Ra (2008, 160-161), OM merupakan Brahman
yang sesungguhnya, yang transenden dan universal ; kesadaran yang merupakan
tujuan manusia. Mereka
yang bermeditasi pada Tuhan yang meresapi segalanya itu, melalui pengulangan Pranawa
Om, akan mencapai segala kebahagiaan, pengampunan, kekekalan, keberadaan
tertinggi yang meresapi segalanya, yang tak termusnahkan. Dengan
melalui simbol yang suci ini saja,
para bijaksana menempatkan dirinya seirama dengan Sang Diri Universal. Dijelaskan pula bahwa tujuan suci yang
diuraikan oleh semua weda adalah OM yaitu Brahman yang tak terhancurkan dan
dengan mengetahuinya, maka apa yang diinginkan seseorang akan tercapai. OM
merupakan busur bagi para meditasi seperti perlakuan seorang pemanah yang
mengarahkan anak panahnya (atman), yang dipertajam dengan rasa bhakti,
menuju Brahman yang merupakan sasaran. Hanya
dengan konsentrasi yang tak tergoyahkan sajalah, maka anak-anak panah (atman) itu mengenai sasaran dan
manunggal dengan Brahman. Meditasi melalui pengulangan kata-kata suci
ini, melalui perenungan yang tidak putus-putusnya maka para calon spiritual
akan dapat mencapai kediaman awal dan
tertinggi, dan setiap upacara kurban, selalu didengar. OM merupakan suara awal, yang juga merupakan
nama dari Brahman,
atau Tuhan. OM menyatakan Brahma sebagai
pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Om merupakan keseluruhan alam
semesta yang terbentuk oleh ketidakseimbangan dari triguna atau juga
merupakan perwujudan tri tunggal dari sifat, yaitu : sattwa guna
atau ketenangan, rajo guna atau kegiatan nafsu, dan tamo guna
atau kelembaman. Om juga menyatakan tentang
badan phisik, badan astral dan badan penyebab, dan menyatakan atma
yang melampaui ketiga badan tersebut. A adalah bunyi kerongkongan, U
bunyi pertengahan, dan M bunyi gerak bibir atau akhir dari suara hidup. Jadi
singkatnya, OM menyatakan tentang semua yang berwujud maupun yang tak berwujud,
yang merupakan sumber dan asal mula dari segala sesuatunya (Ra, 2008: 163).
OM juga merupakan Nada
Brahman atau Suara Brahman, yang merupakan bija atau benih
mantra dan biasanya dipakai sebagai awalan bagi seluruh mantra lainnya. Hati (jantung) merupakan tempat
kedudukan atma, dan dari sana berkembang 108 buah nadi, sehingga menarik
untuk dicatat bahwa jumlah minimum dari mantra yang diucapkan adalah 108 kali,
oleh karena itu jumlah manik-manik pada untaian tasbih atau mala
adalah 108 butir. OM adalah suara yang
mencerminkan alam semesta dan selama masa peleburan, segenap alam semesta ini
bergabung dalam OM. OM tidak memiliki awal dan tidak memiliki
akhir, melampaui waktu, ruang dan penyebab, melampaui alam bawah, bumi dan alam
atas. OM melampaui sifat-sifat sattwa, rajas dan tamas.
OM menggerakkan prana atau daya vital kosmis, dan dalam diri manusia
dinyatakan dalam prana wayu
atau nafas
vital, itulah sebabnya Ia dikenal dengan pranawa.
OM juga melampaui keadaan jaga, tidur bermimpi,
dan tidur lelap dari kesadaran. Dalam setiap nafas,
mengucapkannya, mengulang-ngulangnya tanpa sengaja dan tak terhindarkan. Setiap
getaran dalam badan dan di alam semesta
bermula dari OM, dihidupi oleh OM, dan kembali terserap ke dalam OM. OM
adalah satu-satunya yang dicari oleh semua orang suci, orang-orang bijaksana,
para ilmuan dan tujuan dari semua roh. OM
adalah satu kebenaran yang dipuja dalam berbagai cara, memberikan keseimbangan,
kebijaksanaan, penopang, meresapi segalanya, menghidupi, memberikan
kedamaian, kebahagiaan dan kekuatan. OM membinasakan ego, keinginan,
dan keragu-raguan.
OM adalah akar penyebab, tempat kediaman atman,
adalah bahasa Tuhan. OM dinyatakan oleh Tuhan,
menyatakan Tuhan, dan Tuhan itu sendiri. Tuhan adalah kasih-sayang, oleh
karena itu kasih-sayang menyatakan Tuhan.
Pengucapan OM pada mantra Gayatri, pada pagi hari maupun senja
hari, akan memberikan pemujanya segala pahala dari mempelajari weda. Seperti ular yang melepaskan kelongsongnya
sendiri, sedemikian pulalah sang dwijati melepaskan segala dosa-dosanya
dengan pengulangan secara teratur Gayatri Mantra dengan OM (Ra, 2008 :
164-166).
0 komentar:
Post a Comment